Wanita Dalam Struktur Masyarakat



            Wanita dalam masyarakat masa kini seperti halnya di Indonesia, seolah-olah hanyalah merupakan pelengkap saja. Dunia ini adalah dunianya laki-laki, wanita bergantung kepada laki-laki, seakan-akan wanita tidak merupakan bagian yang potensial dan terintegerasi dari dunia manusia (Arief Budiman 1985, Kartini Kartono 1986). Pernyataan tersebut jelas bertujuan untuk membandingkan kekuasaan dan kedudukan antara pria dan wanita dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini wanita berada dalam pihak yang lemah. Kesempatan-kesempatan yang ada untuk menuju kearah perkembangan yang hampir tidak dimiliki oleh wanita, sehingga mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan bakat kemampuannya secara wajar dan proporsional. Pandangan terhadap kedudukan social wanita tersebut mencakup peranan wanita baik secara pribadi di tengah keluarga yaitu sebagai satuan masyarakat terkecil, maupun kedudukan wanita ditengah masyarakat yang luas pada umumnya.
            Hambatan wanita yang lebih mendasar yang dirasakan adalah apa yang dijadikan panutan seperti dalam teori “nature”, berkecenderungan menganggap kaum wanita lebih lemah dari pada kaum pria. Dengan demikian pembagian kerja secara seksual menurut teori-teori Freudian adalah akibat adanya kodrat wanita itu sendiri yang membuat kaum wanita kurang aktif dengan kaum pria. Sebaliknya para penganut “fungsionalis” lebih menekankan pada fungsi wanita di dalam masyarakat teori ini mengemukakan bahwa pembagian kerja secara seksual merupakan kebutuhan masyarakat yang diciptakan untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Jadi wanita harus di dalam lingkungan rumah tangga karena ini merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi keuntungan masyarakat secara keseluruhan (Arief Budiman, 1985:15).
            Dengan tidak mempertentangkan kedua pendekatan tersebut, pada kenyataannya wanita harus tinggal di dalam rumah. Tetapi tidak semua wanita berbahagia dengan kondisi demikian, adalah sangat dimungkinkan mereka akan merasa berbahagia kalau disamping mengurus rumah tangga, juga berpatisipasi dalam dinamika kemasyarakatan. Karena sebenarnya apa yang dikatakan sebagai “kodrat wanita”  hanyalah buatan, seperti pendapat ahli filsafat Inggris John Stuart Mill penganut ”nature” bahwa :
“Usaha mendikotomisasikan antar peran wanita dan pria adalah merupakan aksi politik yang telah direncanakan. Golongan yang lebih kuat yakni kaum pria, selalu melihat keunggulan dirinya sebagai sesuatu yang alamiah, dan apa yang disebut sebagai kodrat wanita adalah tekanan dan paksaan disatu pihak dan rangsangan yang tidak wajar dan menyesatkan dilain pihak (Arief Budiman 1985 :5)”
Hubungan yang bekaitan dengan kedudukan social antara pria dan wanita sedikit banyak mencerminkan struktur social suatu masyarakat pada kurun waktu tertentu. Kita sering mendengar istilah “kemiskinan structural” yang kurang lebih konsep tersebut menggambarkan keadaan kemiskinan yang dialami oleh segolongan orang dalam suatu masyarakat tertentu karena timpang dan tidaknya peranan social juga dipengaruhi oleh kondisi structural.
            Pada hakikatnya masalah diskriminasi antara wanita dan laki-laki tidak lagi relevan untuk dibawa kedalam perdebatan. Ada satu hal yang lebih hakiki yakni melihat wanita sebagai mahluk yang berbudaya dan berkarya, bukan sebagai objek dan kemajuan ditujukan dalam memainkan peran-peran sebagai ibu, istri dan juga sebagai pekerja diluar rumah yang memperhatikan kepentingan pribadinya. Pendapat bahwa kaum wanita  harus di rumah sekarang ini sudah tidak berlaku lagi, karena mereka berkeinginan membantu kehidupan keluarganya disamping ingin dihormati. Peningkatan peran wanita akan meningkatkan pula pendapatan wanita dan sejalan dengan itu meningkat pulalah status wanita (Pudjiwati Sajogyo, 1985) menyimpulkan dengan dua tipe peranan wanita yaitu :
  1. Pola peranan, dimana digambarkan peranan wanita seluruhnya hanya dalam pekerjaan rumah tangga.
  2. Pola peranan, dimana wanita mempunyai dua peranan yaitu peranan dalam rumah tangga dan pekerjaan mencari nafkah.
Peranan tidak dapat dipisahkan dari status atau setidak-tidaknya dilepaskan begitu saja dari substitusi status. Status mula-mula dipakai untuk menunjukkan kedudukan hukum seseorang. Kemudian status dipakai untuk menunjukkan posisi sekelompok orang yang dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain.sehingga dalam hal ini status wanita perbandingannya adalah status kaum pria (Peter Hagul, 1987:2).
            Dalam membahas peranan dan status wanita, Geckel (1977), mengemukakan bahwa status wanita sangat serta hubungannya dengan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan dalam hidup (life option). Pilihan hidup itu berkaitan dengan enam kegiatan pokok yang dikenal dalam semua masyarakat.
1.      Kegiatan atau prilaku politik (Political Expression)
Apakah wanita mempunyai hak untuk ikut serta dalam mengambil keputusan, memberikan suara, mempunyai hak milik dan manjadi pejabat pemerintah? Apakah tokoh-tokoh wanita menunjukkan masa tidak puas atau merasa diperlakukan tidak adil dibandingkan dengan kaum pria? Apakah ada organisasi yang memperjuangkan hak wanita?
2.      Kerja dan keleluasaan gerak
Apakah wanita kurang leluasa bergerak dibandingkan dengan laki-laki? Apakah mereka aktif dalam angkatan kerja? Apakah gaji mereka sama gaji laki-laki?
3.      Pembentukan keluarga, lama berumah tangga dan jumlah anak.
Apakah wanita mempunyai pilihan yang terbatas dalam menentukan teman hidup? Apakah mereka mempunyai hak yang sama untuk menentukkan perceraian? Apakah konsekuensi jika mereka tidak kawin atau hidup menjanda?
4.      Pendidikan
Apakah wanita mempunyai kesempatan mendapat pendidikan seperti laki-laki? Apakah kurikulumnya sama?
5.      Kesehatan  dan Perilaku Seks
Apakah mentalitas wanita lebih tinggi? Apakah menderita sakit lebih dari laki-laki? Apakah mereka terhalang dalam menggunakan kontrasepsi?
6.      Expresi Budidaya
Apakah wanita mempunyai sumbangan untuk kebudayaan dan kesenian? Apakah wanita mendapat “image” yang baik dalam masyarakat?







Produktivitas Kerja Wanita
            Dalam masyarakat primitif perbedaan produktivitas antara kerja pria dan wanita tidak terlalu besar. Baik pria maupun wanita menghasilkan barang dan jasa untuk keperluan keluarga saja. Sekalipun sebagian besar pria secara jasmaniah lebih unggul, pada tahap ini pria maupun wanita tidak mendapat manfaat dari spesialisasi. Semua yang bekerja pria maupun wanita harus memperluas kegiatan mereka meliputi banyak bidang agar dapat, memenuhi berbagai kebutuhan keluarga.
            Pekerjaan disektor modern tidak hanya menuntut pendidikan  formal, melainkan juga tingkah laku tertentu terhadap pekerjaan yang dapat paling tepat dilukiskan sebagai kemampuan untuk bekerja secara teratur dan penuh perhatian. Sikap ini tidak mudah dikuasai oleh orang-orang yang biasa datang dan pergi dari tempat kerja dan bekerja atau beristirahat sesuka hati. Orang bekerja hanya di lingkungan keluarga tidak mudah menguasai sikap ini kecuali jika keadaan mereka jadi demikian terjepit sehingga mereka terpaksa bekerja makin keras dan makin lama agar dapat bertahan hidup. Oleh karena itu, majikan-majikan dari pekerja Afrika kadang-kadang menemukan bahwa wanita merupakan pekerja-pekerja industri yang sangat efisien, karena kebiasaan mereka untuk bekerja keras cukup mengimbangi taraf pengetahuan umum yang lebih rendah dan pendidkan formal mereka. Akan tetapi ini hanya merupakan pengecualian dari keadaan yang berlaku umum bahwa produktivitas wanita di negara-negara berkembang lebih rendah dari produktivitas pekerja pria dari masyarakat yang sama, karena kaum wanita mendapat tingkat pendidikan dan latihan yang lebih rendah.
            Gagasan bahwa kaum wanita merupakan pekerja inferior secara alamiah tersebar luas, baik di negara-negara berkembang maupun di negara industri. Prasangka ini biasanya diperlunak dalam beberapa hal dengan anggapan bahwa untuk kedudukan tertentu kaun wanita lebih efisien dari pada pria. Kita telah mengemukakan sebagai contoh prangsangka yang besar terhadap ketidakbecusan pria sebagai guru anak-anak kecil. Jenis prangsangka demikian mungkin sekali menimbulkan suatu seleksi para pelamar untuk berbagai kedudukan yang kemudian memberikan pengesahan yang palsu atas prasangka bersangkutan. Misalnya jika disepakati pada umumnya bahwa wanita merupakan guru yang lebih baik, tetapi dianggap lebih rendah dari pria untuk hampir semua kedudukan lain, profesi guru akan menarik banyak wanita yang cakap, tetapi hanya sedikit pria yang cakap. Akibat yang tidak dapat dihindarkan dari cara seleksi demikian, bergabung dengan prasangka umum mengenai inferior wanita akan memperkuat keyakinan mengenai perbedaan pembawaan lahir dalam kemampuan-kemampuan kedua jenis kelamin ini.
            Dimasyarakat, orang tua anak-anak putri mengajarkan kepada mereka bahwa mereka lebih rendah dari anak-anak pria, dan anak-anak putra mendapatkan pendidikan yang menjadikan mereka lebih terlatih ketimbang anak-anak putri, untuk pekerjaan disektor modern, tak dapat dihindarkan bahwa wanita yang memasuki pasar kerja akan menderita kebimbangan rasa rendah diri yang dalam. Oleh Karena itu, tidaklah mengherankan kalau mereka berusaha mendapat jaminan diri dengan memasuki bidang-bidang pekerjaan tertentu saja, yang dianggap sesuai bagi wanita. Hanya suatu minoritas kecil yang ingin bersaing terang-terangan dengan pria di dalam bidang-bidang yang menurut consensus umum di kalangan pria maupun wanita dianggap kurang sesuai untuk wanita. Oleh karena itu, berduyun-duyunnya wanita keperjaan-pekerjaan tertentu, rupanya disebabkan oleh keinginan mereka sendiri untuk bekerja dalam jabatan-jabatan yang dianggap bersifat wanita, sedangkan kekhawatiran pria menerima wanita dalam pekerjaan yang “bersifat pria”, mungkin merupakan faktor kurang penting.

Perbedaan Khas Daripada Arti Pendidikan Untuk Anak Gadis dan Untuk Anak Laki-laki
            Pendidikan untuk kaum pria mempunyai kegunaan yang langsung terlihat dan bersifat ekonomis. Pendidikan kaum wanita lebih penting artinya untuk pendidikan bangsa dan dengan demikian secara tidak langsung mendorong dengan kuat perkembangan social dan ekonomi bangsa itu.Pemerintah yang hanya memperhatikan pendidikan bagi anak laki-laki saja, bekerja secara setengah-setengah dan akan mendorong tumbuhnya suatu masyarakat yang secara intelektualis bersifat timpang.





Bagaimanakah Pendapat Kaum Muslim Tentang Pendidikan
            Sepanjang pengetahuan saya baik dalam hukum syariah maupun dalam ilmu tafsir oleh ulama-ulama yang berpengaruh, tidaklah terdapat fatwa, yang menetang pendidikan bagi anak- anak gadis atau terhadap pemberian pelajaran bersama-sama kepada anak laki-laki dan anak perempuan pada usia masih muda.
            Di langgar-langgar dan di surau-surau pada umumnya jenis kelamin dipisah-pisahkan. Hanya di sekolah-sekolah agama yang paling sederhana, yang bersifat setempat. Dalam arti sempit masih kelihatan anak laki-laki dan perempuan bersama-sama belajar mengaji Al-qur’an dengan duduk dalam kelompok-kelompok kecil yang tersendiri. Dalam hal ini janganlah hendaknya dilupakan bahwa jumlah gadis-gadis yang belajar mengaji jauh lebih kurang dari jumlah anak laki-laki.
            Baik dikalangan kaum muslimin yang tekun dan taat beribadah maupun di kalangan mereka yang acuh tak acuh terdapat pejuang-pejuang yang memperjuangkan pendidikan untuk gadis-gadis yang tidak berkeberatan terhadap sekolah-sekolah campuran. Tetapi diantara kedua golongan tersebut, juga terdapat orang-orang yang tidak menyukai baik yang satu maupun yang lain.
            Secara umum dapatlah dikatakan bahwa hanya orang-orang yang paling majulah yang telah dapat mengatasi keseganan untuk membiarkan gadis-gadisnya bersekolah di sekolah-sekolah campuran pada waktu menginjak usia yang oleh alam sabagai batas antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Itu adalah kira-kira umur 11 tahun, jadi pada waktu mereka sedianya dapat menamatkan pelajaran ada sekolah kelas dua.

Bagaimana Pendapat Orang Kristen Indonesia
            Dalam soal pendidikan gadis-gadis para penginjil mengikuti azas-azas yang sama seperti yang berlaku di Eropa. Dengan demikian, maka umumnya sekolah protestan adalah sekolah campuran. Memang ada juga beberapa sekolah gadis tetapi sekolah-sekolah itu didirikan bukanlah karena keberatan-keberatan terhadap ko-edukasi. Dalam kebanyakan hal sebab-sebab didirikannya sekolah-sekolah tersebut adalah pertimbangan bahwa adalah lebih menguntungkan memecah sebuah sekolah campuran yang lebih besar dalam sebuah sekolah untuk anak laki-laki dan sebuah sekolah untuk anak perempuan, dengan mempertimbangkan subsidi pemerintah. Lebih menguntungkan bagi pembiayaan, jikalau sebuah sekolah bersama yang banyak muridnya dipecah menjadi dua buah sekolah untuk anak laki-laki dan sebuah untuk anak perempuan.
            Para Padri Katolik melaksanakan pula system sekolah gadis disini sepanjang hal itu dimungkinkan oleh keadaan. Mereka dalam hal itu suka bekerja secara amat terpusat, menarik anak didiknya dari kampung halamannya dan mendirikan pusat lembaga-lembaga pendidikan yang besar-besar, seperti yang terdapat di Larantuka dan di Leba di pulau Flores. Dalam system ini cocok pula untuk mengadakan spesialisasi secepat mungkin; pendidikan pekerjaan tangan untuk anak-anak gadis, pendidikan pertukangan untuk anak laki-laki. Perlu dikemukakan bahwa tenaga pengajar di sekolah-sekolah gadis terdiri dari guru rohaniawan, tenaga pengajar di sekolah laki-laki untuk sebagian besar terdiri dari pastur-pastur.

Umumnya Paham Kolotlah Yang Merupakan Penghalang Utama Bagi Pendidikan Gadis-gadis, Bukanlah Ketiadaan Sekolah Umum.
            Di masa yang lalu di Sumatera malahan terdapat sekolah puteri negeri yang terpaksa dihapuskan, karena mendirikan sekolah-sekolah sejenis itu. Sampai beberapa tahun yang silam di Sumatera Barat terdapat lima buah sekolah gadis swasta; sepanjang pengetahuan saya hanya dua buah diantara yang masih ada; yang tiga buah yang lainnya sebagai sekolah puteri, sudah ditutup dan murid-muridnya sudah pindah ke sekolah-sekolah campuran. Pengajaran renda-merenda dan bertenun yang pada mulanya merupakan alasan untuk mendirikan sekolah-sekolah puteri  itu diberikan di luar jam-jam sekolah, seperti halnya dengan murid wanita dari sekolah campuran di tempat-tempat yang lain.
            Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa jika orang tidak berkeinginan untuk menyekolahkan gadis-gadis kecil ke sekolah campuran juga sekolah puteri tidak akan mempunyai daya tarik menarik bagi mereka. Di daerah sana dianggap tidak perlu memberikan pendidikan kepada gadis-gadis. Orang-orang Mandahiling sebagai mana juga orang Minangkabau, adalah sama-sama berhaluan maju dan penganut agama islam yang taat; sungguhpun demikian, angka perbandingan, yang sering dipakai antara jumlah pelajar-pelajar pria dan wanita, pada orang-orang ini belumlah lagi setengah besarnya dari yang biasa ada pada yang disebut terakhir ini, walaupun jumlah bertambah dengan terus menerus. Sebab-musabab perbedaan dalam hal ini tidaklah terletak baik pada agama maupun pada tingkat peradaban umum, tetapi semata-mata pada kedudukan kaum wanita yang lebih rendah dalam masyarakat Batak, yang exogamis dan patriakhal. Pertambahan pelajar puteri hanya akan tercapai di sini bila makin terkikisnya paham-paham kolot tentang kaum wanita; tidak dengan mendirikan sekolah-sekolah puteri. Beberapa alasan mengapa gadis-gadis Indonesia perlu sekali memperoleh pendidikan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Hal itu membuka jalan bagi pendidikan anak yang direncanakan dan dilakukan secara sadar.
2.      Hal itu memperkembangkan sifat-sifat hemat, rapi dan teratur dalam rumah tangga dan turut pula membantu untuk mengurangi kecenderungan beranak banyak.
3.      Hal itu merintangi poligami dan perkawinan yang disatu pihak tidak diingini.
4.      Hal itu mengurangi kematian dan penyakit di kalangan rakyat, karena wanita yang terdidik mau menerima pengertian kebersihan.
5.      Hal itu membuat hidup lebih nikmat dan membuat kaum pria yang maju lebih merasa kerasan di rumah.

Tingkat Pendidikan / Pengetahuan Wanita
            Telah dijelaskan dimuka bahwa pendidikan dalam masyarakat akan mengakibatkan “tingkat kesadaran” anggota masyarakat akan hal-hal yang berhubungan dengan problema masyarakat. Dengan kata lain pendidikan akan membuka cakrawala pemikiran seseorang lebih luas, lebih rasional. Maka dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan / pengetahuan akan menjadi dasar/fondasi seseorang didalam membangun persepsi terhadap suatu objek. pendidikan/ pengetahuan ini bias diperoleh :
  1. Secara formal yaitu pada lembaga pendidikan yang sifatnya formal (SD s/d PT).
  2. Secara nonformal yaitu pendidikan dalam lingkungan masyarakat (kursus-kursus, organisasi, penyuluhan, mass media yaitu Koran, radio, TV, film dan lain sebagainya).
  3. Secara informal, yaitu pendidikan yang diperoleh dalam lingkungan keluarga.
Jadi sejauh mana tingkat pendidikan / pengetahuan yang dimiliki oleh wanita, akan tercermin pada persepsi mereka terhadap suau objek.

Pengetahuan Tentang Pengasuhan dan Pendidikan Anak
            Salah satu fungsi dari isteri adalah ibu dari anak-anak dan pendidik. Fungsi ini nampaknya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Karena dalam keluarga yang merupakan arena dimana isteri harus memainkan perannya ini, juga mengasuh dan mendidik anak berarti membesarkan dan membentuk kepribadian anak berdasarkan ideologi keluarga. Ideology ini terdiri dari kebiasaan tradisi dari kebiasaan tradisi, emosi sentimen-sentimen nilai dan norma-norma tertentu yangikat setiap anggota menjadi suatu kesatuan (Kartini Kartono, 1986 :8).
            Permasalahanya kemudian, sejauh mana isteri dapat menjabarkan fungsi dan tugasnya yang demikian, dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan pendidikannya, tergantung kepada seberapa besar rasa tanggung jawabnya terhadap keluarga, seberapa besar kepandaiannya memilih kesempatan serta membagi waktu dan seberapa besar pembagian kekuasaan yang didapatkannya dalam rumah tangga. Oleh sebab itu variable “Pengetahuan tentang pengasuhan dan pendidikan anak” diperhitungkan sebagai variable yang berpengaruh didalam membangun persepsi wanita terhadap pekerjaan diluar rumah tangga sebagai kegiatan yang menghasilkan uang (upah/gaji). Partisipasi wanita dalam angkatan kerja yang semakin meningkatan seperti yang dimuat oleh Hadi Sutomo (1988) untuk Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Indonesia 1980 dan 2000 yakni terjadi penurunan sebesar 0,3% untuk TPAK laki-laki menurun sebesar 1,6% sedangkan untuk perempuan mengalami kenaikan sebesar 0,7%.
            Dari data tersebut diatas jelas kelihatan kenaikan peranan wanita untuk bekerja di luar rumah tangganya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dengan kenaikan TPAK wanita di Indonesia ini akan menyebabkan keharmonisan keluarga apa tidak, karena dengan kenaikan ini jelas akan menggusur pola kekuatan yang sudah ada. Status yang berubah akan menyebabkan perubahan pembagian peranan masing-masing anggota keluarga.
            Dengan cara dan asumsi yang berbeda-beda banyak ahli yang menyoroti sejak kapan, dan bagaimana seseorang laki-laki dapat berkuasa seperti sekarang ini di dalam keluarganya. Belum terdapat kesepakatan sejak kapan dan mengapa laki-laki dapat berkuasa dalam keluarganya.
            Guttle mengatakan bahwa pada waktu itu pembagian kerja secara seksual tidak bersifat eksploitatif, tidak ada yang diuntungkan, dan benar-benar murni. Sampai pada suatu saat keadaan memungkinkan bahwa pekerjaan di luar rumah tangga (pekerjaan laki-laki dapat digunakan untuk mengumpulkan materill. Pekerjaan dalam masyarakat jadi lebih dominan, laki-laki lebih berkuasa dan berusaha melanggengkan dalam suatu lembaga masyarakat (Arief Budiman,1985). Selanjutnya secara singkat Arief Budiman membuat pola pemikiran tentang kekuasaan laki-laki dalam keluarga sebagai berikut :
  1. Faktor-faktor yang menyebabkan pembagian kerja secara seksual, tidak harus sama dengan faktor-faktor yang mempertahankanya. Jadi setiap masyarakat mempunyai kombinasi faktor-faktornya sendiri dalam mempertahankan pembagian kerja secara seksual. Untuk mengetahui dinamik dan hubungan antara faktor-faktor harus dipelajari gejala pembagian kerja seksual ini dalam lingkungan masyarakatnya masing-masing dan dalam konteks perkembangan sejarahnya.
  2. Faktor-faktor yang mempertahankan pembagian kerja secara dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, faktor-faktor yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan social ekonomi masyarakat tertentu. Kedua, faktor-faktor yang didasarkan pada system psikokultural dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang menyebarkannya dan mengembangkan system pembagian kerja ini. Dari pendapat tersebut diatas jelas bahwa ada faktor yang mempertahankan kekuasaan ini hilang atau setidak-tidaknya menjadi berkurang maka akan terjadi perubahan didalam kekuasaan, khususnya dalam berkeluarga. Dalam hal ini Blood and Wolfe (1960; 10) mengatakan bahwa aspek yang paling penting dalam structure keluarga adalah posisi anggota keluarga, karena distribusi dan alokasi kekuasaan, kemudian aspek berikutnya yang juga penting adalah pembagian kerja dalam keluarga. Kekuasaan yang dinyatakan sebagai kemampuan untuk mengambil keputusan yang bias mempengaruhi kehidupan keluarga itu bisa tersebar dengan sama nilainya atau tidak sama nilainya, sedang pembagian kerja menunjukkan kepada pola peranan dalam keluarga dimana khususnya suami dan isteri melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Analisa pengambilan keputusan akan lima variasi yaitu :
a.       Pengambilan keputusan hanya oleh isteri.
b.      Pengambilan keputusan hanya oleh suami.
c.       Pengambilan keputusan oleh suami dan isteri bersama, dimana dominasi isteri lebih besar.
d.      Pengambilan keputusan oleh suami dan isteri bersama, dimana dominasi suami lebih besar.
e.       Pengambilan keputusan bersama setara. (Pudjiwati Sajogyo, 1985, 107 dan Mubyarto).
Berbagai faktor menyebabkan pelajar putri meninggalkan sekolah sesudah usia sembilan belas tahun. Pertama-tama, terdapat ketakutan yang mendalam terhadap perkawinan, dimana isteri lebih tinggi tingkat pendidikannya dari si suami. Sikap ini terdapat dimana-mana; kita temukan hal tersebut bahkan di Filipina negara yang menempati tingkat teratas diantara negara-negara asia sepanjang hal mengenai pendidikan wanita, dan ini mendorong banyak orang tua dan pelajar putri agar berhenti belajar pada taraf masih mungkin mendapat suami dengan tingkat pendidikan yang sama atau yang lebih tinggi. Semua pelapor dalam pengamatan terhadap mahasiswa berkeluarga meningkat bagi gadis yang berpendidikan menengah, meneruskan sekolah tinggi lanjut berarti mengurangi kesempatan mereka untuk berkeluarga.
Ketakutan tidak akan mendapat suami mungkin merupakan faktor yang penting dari berhenti belajar ketimbang perkawinan usia muda untuk putri, karena rendahnya gaji pembantu rumah tangga dan system keluarga yang diperluas biasanya membuka kemungkinan bagi wanita untuk melanjutkan sekolah sesudah berkeluarga, jika ia menginginkan demikian. Banyak wanita asia terus belajar sesudah berkeluarga, jika para suami menyetujui mereka menyelesaikan pendidikan, baik untuk karier atau untuk prestise social.
Di kebanyakan negara afrika, pendidikan tinggi untuk pria hanya suatu gejala yang mutakhir. Di masa penjajahan kurikulum sekolah-sekolah misi Kristen untuk putri Afrika menitikberatkan kegiatan-kegiatan rumah tangga, membuat pakaian, menyulam, sebagai tambahan pendidikan agama. Tetapi perlu diketahui bahwa ditempat-tempat dimana orang-orang tua mempunyai kesempatan untuk memberikan pendidikan yang lebih tinggi bagi putri-putri mereka, populasi belajar putri begitu rendah.

Pendidikan Untuk Sector Modern
            Selama wanita masih menghadapi rintangan ganda pendidikan keluarga yang menindas kepercayaan pada diri sendiri mereka, dan fasilitas pendidikan sekolah dan lain-lain yang lebih rendah ketimbang yang disediakan bagi pria, mereka akan terikat menjadi pekerja yang lebih rendah yang memberikan ajang kecil kepada produk nasional, kendati kerja banting tulang mereka dalam banyak pekerjaan-pekerjaan produktivitas rendah tradisional.sekalipun banyak keluar pernyataan mengenai peranan wanita dimasa depan dan perlunya mereka mendapat pendidikan yang lebih baik, kemajuan dalam bidang ini kelihatannya sangat lamban. Tekanan tetap diberikan pada pendidikan dan latihan yang mempersiapkan mereka untuk produksi subsistem dalam lingkungan keluarga mereka sendiri, dengan jalan mengajar mereka untuk menanak lebih baik, merawat anak dengan lebih baik, menjahit dan menyulam. Mata pelajaran demikian banyak menyita waktu dibanyak sekolah dasar pedesaan dan perkotaan, dan kurikulum yang diberikan kepada anak perempuan dan wanita dalam rangka program-program masyarakat dan penyuluhan pedesaan sebagian besar mencakup mata-mata pelajaran demikian. Bahkan ditingkat universitas, banyak pendidikan guru bagi kaum wanita pada hakikatnya merupakan latihan untuk peranan sebagai guru ekonomi rumah tangga dan mata-mata pelajaran yang serupa.
            Ini merupakan kekurangan yang menyolok, mengingat peranan penting wanita dalam angkatan kerja pertanian dibanyak negara  berkembang. Sekalipun kurikulum sekolah untuk putra mencakup kursus-kursus teori dan praktek dalam asas-asas dan cara-cara pertanian modern di negara-negara tertentu, jenis pengajaran begini yang dimaksudkan untuk membatasi pelarian abiturien pertanian, tidaklah diberikan kepada putri. 
            Sukar diramalkan apa hasil dari usaha-usaha untuk memberi masa depan kepada wanita berpendidikan dalam sector pertanian. Kebanyakan negara, wanita desa tak menyasingkan akan berhubungan terutama dengan industri-industri yang mengolah pangan dan bahan-bahan lain asal pertanian, dan perdagangan desa serta sejumlah kegiatan jasa-jasa yang akan muncul mengiringi modernisasi desa. Motif utama menyediakan pekerjaan untuk wanita pedesaan dalam bidang  pertanian maupun non pertanian tentu saja adalah untuk memperoleh bantuan langsung mereka dalam usaha peningkatan produksi di daerah-daerah pedesaan itu serta untuk memastikan bahwa peningkatan kemampuan menghasilkan pendapat pria dibidang pertanian tidak akan diimbangi dengan nama oleh kemunduran peran serta wanita, dan karenanya dalam daya menghasilkan pendapatan dari wanita.
            Alasan untuk menyediakan kesempatan kerja yang menarik bagi dara-dara pedesaan yang berpendidikan dalam kegiatan maupun nonpertanian pedesaan ialah jika kesempatan-kesempatan demikian tidak tersedia, gadis-gadis cekatan akan berurbanisasi sebelum memasuki jenjang perkawinan, atau mendesak suami mereka agar berurbanisasi. Oleh karena itu suatu kebijaksanaan yang diarahkan untuk mendorong pria muda pedesaan membantu tugas memodernisasi iklim kehidupan pedesaan, akan lebih berhasil kalau itu juga meliputi kemungkinan mendapat pekerjaan yang menarik bagi dara-dara berpendidikan di desa.
            Tingkat pendidikan yang dicapai/diikuti penduduk merupakan salah satu merupakan indikator mengenai tingkat kesejahteraan penduduk.disamping itu naiknya tingkat pendidikan wanita dapat membawa aspirasi baru dalam memilih pekerjaan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar